Sabtu, 14 Maret 2015

Hidup Dalam Limpahan Anugerah


Jumat, 31 Agustus 2012

Manusia Rohani

Bahan Bacaan: Yohanes 3:1-21
Mungkin kita sering mendengar pandangan yang mengatakan bahwa orang Kristen hanyalah orang berdosa yang oleh karena kasih karunia Yesus menjadi selamat. Kesalah pahaman ini menimbulkan kerancuan dan keraguan mengenai identitas kita yang sebenarnya. Kalau kita tidak terlampau berbeda dengan orang lain, lalu mengapa kita selamat? Kalau kita ini orang berdosa, apa yang kita harapkan dalam perbuatan kita? Dosa! Berbuat dosa adalah perbuatan normal bagi orang berdosa.  Berusaha terus menerus berperilaku dengan sebuah cara yang tidak alami akan melelahkan orang. Itulah sebabnya kita harus mengetahui siapa kita.
Untuk mengerti keslamatan dengan tepat, kita harus tahu terlebih dahulu akan kebutuhan kita akan keslamatan. Kadangkala kita berfikir keslamatan yang kita butuhkan adalah pengampunan dari kesalahan kita. Keslamatan yang kita butuhkan bukanlah pengampunan. Kita perlu mengerti karya yang Yesus lakukan untuk mengerti keslamatan macam apa yang kita butuhkan. Dalam karya Yesus Kristus kita menemukan kuasa dalam kebangkitanNya dan kemampuan Allah untuk mengubah kita oleh kuasa itu. Kita mati bagi realita, oleh pekerjaanNya yang sudah selesai dan kita perlu percaya pada apa yang telah Ia selesaikan.
Bagi orang berdosa, apa yang mungkin orang berdosa butuhkan? Kita mungkin akan berkata kita butuh pengampunan dari dosa-dosa yang telah dilakukan. Apakah pengampunan yang diberikan akan menyelesaikan masalah? Seumpama kertas yang kotor dan setelah itu di tip-ex, dibuat menjadi putih lagi, apakah masalahnya akan selesai di sana? Masalahnya adalah yang pertama kertas itu akan menjadi kotor lagi oleh kotoran yang baru lagi. Kita membutuhkan pengampunan dari dosa yang terus menerus. Dan itulah yang dilakukan oleh hukum taurat. Ia memberikan penyelesaian jenis tip-ex, membersihkan kesalahan yang telah dilakukan, yang memungkinkan atau bahkan pasti akan dikotori lagi. Permasalahan yang ke dua dan yang lebih besar adalah penyelesaian dengan cara ini tidak bisa menyelesaikan masalah yang ke dua dari dosa yaitu upahnya, konsekuensinya. Upah dosa adalah maut. Dosa yang dimaafkan tidak menyelesaikan masalah upahnya. Seperti orang yang meskipun dilarang orangtuanya untuk makan namun tetap sering melanggar, maka upah dari makan berlebihan yaitu obesitas tetap muncul pada diri sang anak. Sang anak akan tetap mengalami obesitas meskipun misalkan ia datang kepada orangtuanya meminta maaf telah melanggar larangan orangtuanya. Ia telah mendapat pengampunan dari orangtuanya atas kesalahannya, namun efek dari pelanggaran itu masih melekat pada dirinya. Upah dosa masih melekat pada manusia yang melakukannya. Maut masih akan terjadi pada manusia.
Apa yang dibutuhkan olah orang yang mati? Apa yang dibutuhkan oleh jasad yang ada di dalam liang kubur? Hanya ada satu jawaban, kehidupan! “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yohanes 3:16-18).
Dalam proses menghidupkan kita Allah membuat “kita” yang sama sekali baru. Bukan diubah penampakannya saja tetapi seumpama bayi yang dilahirkan. Dilahirkan ulang. Diri kita yang lama mati dan kehidupan yang baru dikaruniakan kepada kita. “Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh. Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” (Yohanes 3:5-8).
Allah mengambil manusia lama kita, si pendosa, yang barasal dari daging, keturunan Adam, menyalibkannya bersama Kristus, mematikannya sekali untuk selamanya. Bersama kebangkitan Kristus, membangkitkan kita, menciptakan kita yang baru, si orang kudus, manusia rohani, anak-anak Allah. Kelahiran baru inilah yang memberikan identitas yang baru bagi kita.

Pesan Kitab Kidung Agung

Dalam salah satu bagian dalam film “Fligh of the Phoenix” ada sebuah kalimat yang diucapkan salah seorang penumpang yang tengah dalam perdebatan tentang perlunya memperbaiki pesawat mereka yang rusak akibat jatuh di pelosok gurun di Mongolia. Kalimat itu berkata “Menurutku orang Cuma perlu satu hal dalam hidup ini, ia hanya perlu orang untuk dikasihi. Kalau kau tak bisa memberikan itu, berilah mereka sesuatu untuk mereka harapkan. Dan kalau kau juga tak bisa memberikan itu, berilah mereka sesuatu yang bisa mereka kerjakan.”
Cinta adalah penggerak sejati bagi kemanusiaan, bahkan bagi kehidupan itu sendiri. Tanpa cinta apa artinya menjadi manusia, dan bahkan apa artinya hidup. Tema cinta-lah yang menjadi pokok dalam Kitab Kidung Agung, salah satu kitab paling menarik, namun juga yang sulit dipahami dan sering di salah mengerti.
Kitab ini memiliki kesatuan struktur dalam bentuk kiastik, berisi dialog antara laki-laki dan perempuan yang saling mengungkapkan perasaan cintanya. Dalam Kidung Agung, Pasal 4:16-5:1 menjadi bagian tengah dari struktur kiastik tersebut dan terdiri dari 13 lagu terpisah (Kanto) yang dinyanyikan oleh penyanyi solo pria dan solo wanita dan sebuah bagian chorus dalam tiap lagunya. “Soprano” adalah bagian yang dinyanyikan perempuan, “Tenor” adalah bagian yang dinyanyikan oleh laki-laki danchorus-nya oleh putri-putri Yerusalem.
Pesan yang dikandung dalam teologi Kitab Kidung Agung lebih dari sekedar menyatakan bahwa cinta kasih dan seks itu baik namun juga beberapa hal lain.
-          Kitab ini menolak pandangan kaum asketis. Seksualitas tidaklah secara moral buruk atau sesuatu yang bertentangan dengan kekudusan. Cinta seksual adalah sesuatu yang indah dan memperkaya kehidupan manusia. Realitas dasar seks, sebagaimana kita temukan dalam tulisan Jerome dan Agustinus, memang memperlihatkan bagaimana perempuan dan terutama laki-laki berjuang mengatasi nafsu dan perselingkuhan. Dalam hal ini, Kitab Kidung Agung tidak diam. “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, / seperti meterai pada lenganmu, / karena cinta kuat seperti maut, / kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” (Kidung Agung 8:6). Cinta menuntut dengan kuat dan menuntut kesetiaan mutlak untuk sang kekasih. Pernikahan harus benar-benar monogami. Namun Kidung Agung tidak membenarkan secara moral atau mengubah larangan terhadap perzinahan. Sebaliknya, gairah cinta yang menuntut kesetiaan juga merupakan perisai untuk kesetiaan. Untuk mencoba untuk hidup tanpa gairah cinta bukan hanya membuat manusia putus asa tanpa harapan, namun hal itu juga tidak bijaksana, tidak alkitabiah, dan justru membuka pintu untuk nafsu yang sangat keras berusahan keluar. Dalam Kitab Kidung Agung, gairah cinta yang tepat adalah perlindungan terhadap gairah yang salah.
-          Cinta romantis. Kidung Agung dipenuhi dengan gairah dan keinginan akan cinta dari awal sampai akhir. Bahwa ekspresi dari gairah cinta mungkin menjadi perhatian bagi para pendeta abad pertengahan apalagi yang secara khusus berbicara mengenai payudara dan paha. Orang abad pertengahan diperintahkan untuk menjaga nafsu di bawah kendali, yang ideal adalah orang yang bisa melakukan hubungan seksual dengan istrinya tanpa gairah dan hanya demi prokreasi (penciptaan manusia lain dalam perintah Allah). Gairah cinta adalah apa yang dirayakan oleh Kidung Agung. Meskipun referensi untuk tindakan seksual tidak banyak ditemukan dan biasanya tidak secara langsung. Namun keinginan cinta dari pasangan untuk pasangannya cukup banyak, meskipun juga tidak langsung atau terselubung. Pernikahan adalah bagian pusat dan inti dari Kitab Kidung Agung (Psl 4:16-5:1). Apa yang Kidung Agung coba sampaikan adalah dasar dan keindahan dari sebuah pengalaman suami istri mengalami hasratnhya yang saling dipanaskan satu sama lain. Kidung Agung mencapai sesuatu yang tidak bisa dibayangkan oleh budaya Kristen abad pertengahan dan tidak dapat dicapai secara berseni oleh budaya modern dan postmodern: seorang pria dan wanita yang menjaga hasrat untuk satu sama lain dalam konteks moralitas konvensional.
-          Moralitas Seksual. Kidung Agung tidak menetapkan sebuah aturan untuk kehidupan seksual manusia atau bahkan secara eksplisit berbicara tentang hal tersebut, tapi ini tidak berarti bahwa tidak ada pandangan moral yang meresapi kitab ini. Seksualitas dalam Kidung Agung adalah monogami dan heteroseksual. Pada kenyataannya, monogami heteroseksual adalah dasar untuk semua sukacita dalam Kidung Agung. Kasih dalam Kidung Agung ini jelas monogami. Perempuan itu bagi sang lelaki adalah “dindaku, pengantinku” (misalnya, Psl 5:1). Dia adalah bunga bakung, semua wanita lainnya adalah duri (Psl 2:2). Di antara enam puluh permaisuri, delapan puluh selir, dan para dara yang tak terhitung jumlahnya, "merpatiku" sempurna dan satu-satunya (Psl 6:8-9; semua yang disebutkan itu adalah perbandingan, diantara banyak wanita, hanya satu yang dipilihnya. Lelaki ini tidak mengatakan bahwa ia memiliki permaisuri, selir, dan pacar yang lain). Untuk sang wanita, pria itu adalah “kekasihku” dan satu-satunya “yang dicintai jiwaku” (mis: Psl 1:7, 5:10). Dia adalah sebuah pohon apel, semua laki-laki lain hanya pohon-pohon di hutan (Psl 2:3). Dia adalah yang terbaik di antara sepuluh ribu orang (Psl 5:10). Paling kuat, sang wanita itu menyatakan, "kekasih saya adalah milikku dan aku miliknya" (mis, Psl 2:16). Untuk mengabaikan semua ini sebagai sebuah rayuan kosong dan hanya kata-kata manis (seperti ketika seorang pria yang memiliki beberapa pacar berkata kepada salah satu dari mereka, “Kau satu-satunya gadis untukku!”) adalah menjadi sebuah sinisme yang ditolak oleh  Kidung Agung itu sendiri. Kidung Agung menggambarkan cinta yang ideal dan sempurna, ketika seorang kekasih yang diidam-idamkan mengekspresikan pengabdian mutlak antar mereka satu sama lain, kita bisa berasumsi bahwa mereka bersungguh-sungguh mengucapkannya.
-          Kelembutan sebagai Cara Memelihara Hubungan. Banyak penafsir berusaha untuk menggali Kidung Agung untuk menemukan petunjuk tentang bagaimana memiliki hubungan dalam rumah tangga yang baik. Kita  bisa menemukan gambaran cinta yang ideal dan melihat bagaimana dua kekasih saling memperlakukan satu sama lain sebagai sesuatu yang berguna dalam hubungan pernikahan. Ucapan kasih sayang menyiratkan seberapa besar pentingnya ungkapan yang diucapkan dalam kelembutan jika kita menghendaki cinta untuk berkembang. Ungkapan kasih dalam Kidung Agung bukanlah aktivitas fisik belaka, sering kata-kata yang memuji tubuh dari sang tercinta adalah kasih sayang itu sendiri. Menggunakan kata-kata untuk menyatakan keintiman dan memuji adalah sesuatu yang diperlukan dan merupakan bagian dari kegembiraan cinta. Kita dapat menemukan bagian lain yang menunjukkan cita-cita praktis tentang hubungan seksual. Pasal 1:5 menunjukkan bahwa kecantikan, sebagaimana ditentukan oleh budaya kontemporer, dapat menyesatkan. Membandingkan Psl 1:10-11 dengan 1 Petrus 3:3 memungkinkan kita untuk sampai pada pandangan yang seimbang tentang kelayakan perhiasan untuk wanita. Petrus mengatakan bahwa perhiasan nyata keindahan wanita adalah kehidupan yang saleh, dan ia menolak daya tarik pakaian yang indah. Kidung Agung menunjukkan bahwa perhiasan dapat meningkatkan kecantikan seorang wanita dan bahwa ada kalanya perhiasan tepat diberikan kepada seorang wanita yang dicintai. Tidak diragukan lagi bahwa baik Kidung Agung maupun 1 Petrus sama-sama benar. Kidung Agung 1:13 menunjukkan bahwa perhiasan yang paling indah untuk kecantikan seorang wanita adalah cinta dari suaminya.
-          Kegembiraan yang Singkat di Bawah Matahari. Lelaki dan perempuan dalam Kidung Agung masih muda. Tubuh mereka yang sempurna: mata yang indah, rambut hitam, kulit keemasan, dan giginya masih utuh (Psl 4:2). Pemuda itu melompat di bukit-bukit seperti rusa (Psl 2:9). Pipi wanita muda itu memiliki ciri kemudaan (Psl 6:7). Mereka adalah pemula dalam hal cinta dan seksualitas. Masa-masa ini adalah masa-masa yang mulia, indah, dan berlalu dengan cepat, sebagaimana musim semi yang digambarkannya (Psl 2:10-13). Kita tidak dapat membaca Kidung Agung tanpa kesadaran bahwa saat bersukaria dalam cinta masa muda memang saat yang singkat. “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu, dan turutilah keinginan hatimu dan pandangan matamu, tetapi ketahuilah bahwa karena segala hal ini Allah akan membawa engkau ke pengadilan! Buanglah kesedihan dari hatimu dan jauhkanlah penderitaan dari tubuhmu, karena kemudaan dan fajar hidup adalah kesia-siaan.” (Pkh 11:9-10). Kidung Agung memanusiawikan perintah Kohelet itu. Hidup ini singkat, hari-hari kita di bawah matahari hanya sedikit, dan waktu di mana kita memiliki kemudaan itu berlalu dengan cepat. Sang lelaki dan perempuan muda dalam Kidung Agung telah menggunakan waktu mereka dalam kemuliaan di bawah matahari. Dalam Kidung Agung, cinta dan kematian sama kuatnya: “Karena cinta yang kuat, seperti maut. / kegairahan gigih, seperti dunia orang mati” (Psl 8:6). Mungkin cukup mengejutkan ketika kita menemukan kematian pada bagian akhir sebuah puisi cinta dalam Kidung Agung. Meskipun kematian dan dunia orang mati dalam Kidung Agung pada dasarnya adalah ilustrasi dari kekuatan cinta, namun hal itu juga mengingatkan bahwa setiap kali bersumpah setia dalam keabadian, mereka melakukannya dengan kesadaran bahwa suatu hari nanti salah seorang dari mereka akan menguburkan kekasih mereka. Namun justru karena ini-lah mereka memiliki lebih banyak alasan untuk membuat musim semi yang singkat itu menjadi agung. “Kami akan bersorak-sorai dan bergembira karena engkau, kami akan memuji cintamu lebih dari pada anggur! Layaklah mereka cinta kepadamu!” (Psl 1:4)!
-          Mengalami Perasaan Penuh Kehangatan. Hubungan cinta antara lelaki dengan perempuan, mengekspresikan kebutuhan mendasar dari jiwa manusia, sejenis transformasi dalam jiwa. Cinta romantis mengubah manusia dari ketidak bahagiaan ke dalam pengalaman tranformatif. Orang yang dalam cinta akhirnya berani untuk memberi tanpa takut disakiti atau dikhianati. Orang yang dalam cinta akhirnya akan mengalami apa artinya sukacita, mempercayai, dan kepenuhan dalam hidup. C. S. Lewis dalam Weight of Glory mengatakan “Seorang lelaki mungkin mencintai seorang perempuan dan tidak mendapatkannya, namun jatuh cinta akan menjadi sebuah fenomena yang aneh sekali dalam dalam sebuah dunia tanpa seks” (h. 6). Perasaan hangat oleh cinta, mengungkapkan sesuatu yang mendasar tentang diri kita, tentang dunia ini dan tentang Allah.  Kita bisa merasakan pengalaman dalam kehangatan ini mungkin ketika membaca puisi, ketika menyaksikan matahari tenggelam, atau pada saat seorang laki-laki dan seorang perempuan menyadari bahwa mereka ternyata saling mencintai. Pada saat itulah kita memahami bahwa ada sesuatu di luar kita yang mampu menjawab kebutuhan dalam hati kita yang mungkin tidak dapat kita ucapkan atau tidak kita sadari. Hati kita akhirnya menemukan apa yang dinantikannya yaitu kebebasan untuk membuka dirinya pada Kebaikan yang akan mengubah kita, tanpa kehilangan diri kita. Perasaan kehangatan ini menjadi analogi yang mudah bagi kita bagi pengalaman berjumpa dengan Tuhan; saat-saat penuh kasih karunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar